Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Lunturnya Empati Dan Masih Minimnya Fasilitas Untuk Penumpang Prioritas di KRL Commuter Line

 LUNTURNYA EMPATI DAN MASIH MINIMNYA FASILITAS UNTUK PENUMPANG PRIORITAS DI KRL COMMUTER LINE


Foto di atas sengaja saya cantumkan sebagai ilustrasi artikel ini. Saya mendapatkan foto tersebut dari beranda Facebook. Dan kemudian foto itu saya unggah kembali (di salah satu halaman fans page saya) dengan caption "Dapatkah anda temukan keganjilan di dalam foto ini?".

Tidak lama berselang, ternyata banyak komentar yang muncul dari pengguna Facebook. Tanggapan dan komentarnya bermacam-macam.

Ada yang mengatakan "mungkin si mbak-mbak itu mau turun dari kereta" (kalau menurut penulis, jika di lihat dari posisi berdirinya sih, sebenarnya agak kurang matching seperti orang yang mau turun kereta). Tapi setiap orang bebas berpendapat, jadi menurut saya komentar itu sah-sah saja.

Ada yang juga mengatakan bahwa kejadian di foto itu tidak terjadi di Indonesia.

Ada pula yang mengatakan bahwa orang yang tampak cuek dan seakan tidak punya empati itu hanya oknum. Masih banyak pengguna KRL lain yang punya empati, dan mau mengalah memberikan tempat duduk kepada penumpang prioritas.

Komentar lainnya lagi ada yang mengatakan "bisa jadi kejadiannya bukan seperti yang kita pikirkan" (seperti yang terlihat pada foto).

Untuk mengakhiri polemik di kolom komentar itu, akhirnya saya jawab: 

"Substansinya bukan soal tentang asal foto, mengenai kejadiannya dimana, atau tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam foto itu. Itu tidaklah penting. Tapi yang jauh lebih penting adalah tentang begitu ngerinya sifat individualisme telah menggerus nurani. Sehingga kepedulian sudah semakin luntur kepada sesama. Kalau meminjam istilah gaulnya : "lu lu,,, gue gue".

Sifat individualistik ini sebenarnya memang gak hanya terjadi di Indonesia aja,,, tapi banyak menjangkiti negara-negara lain, terutama warga perkotaan di negara maju. Memang betul, hal ini tidak bisa di generalisir. Kita mesti adil menilai, karena tentu juga ada personal/individu tertentu (bahkan di negara maju sekalipun) yang masih punya sifat kepekaan dan empati terhadap sesama. Tapi secara umum, biasanya masyarakat perkotaan (terutama di kota-kota besar) bersifat individualistik.

Boleh setuju atau gak, tapi gak seorang pun yang bisa menampik bahwa sifat individualistik ini sudah banyak menjangkiti masyarakat modern".


Memang banyak kemungkinan yang bercerita pada foto di atas. Dan jujur, saya sendiri pun sebenarnya tidak tahu persis apa sebenarnya kejadian yang terjadi pada foto tersebut.

Tapi jika kita melihat gambarnya secara lahiriah, maka isi foto itu menunjukkan bahwa si ibu muda di biarkan berdiri, dan tidak diberikan tempat duduk oleh pria muda yang sedang duduk di sampingnya.

Iya kan?

Kemungkinan itu tentu juga ada,

Karena di antara semua opsi (kemungkinan kejadian) yang disebutkan oleh para komentator di atas, maka kondisi si ibu muda itu sedang di cuekin, tentu juga bisa termasuk salah satu opsi (kemungkinan kejadiannya). Betulkan?

Dan realitanya, kejadian tentang enggannya sebagian pengguna KRL untuk mengalah, dan memberikan tempat duduk kepada penumpang prioritas memang cukup sering terjadi. 

Saya tidak berbicara omong kosong. Karena saya sendiri pernah menjadi saksi mata, dan sudah beberapa kali melihat kejadiannya secara langsung.

Saya adalah salah satu pengguna tetap KRL sejak tahun 2010. Selain seorang blogger, sesungguhnya profesi utama saya adalah seorang pebisnis toko mainan. Sehingga setiap sekali seminggu pasti saya menggunakan KRL menuju ke Asemka Jakarta Kota.

Nah, sejak tahun 2010 itulah, sering saya saksikan 'drama' memperebutkan tempat duduk didalam kereta Commuter line itu. Entah kenapa, sepertinya begitu sulit bagi sebagian penumpang untuk berbagi tempat duduk kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Seolah bangku kereta itu adalah harta yang sangat berharga dan berat sekali untuk dilepaskan.

Saya pernah melihat seorang pria muda (berumur sekitar 30an), yang bersitegang dengan penumpang lain. Penyebabnya adalah karena si pria itu merasa marah ketika dibangunkan tiba-tiba oleh penumpang lain (yang sedang berdiri). Saat itu posisi si pria memang sedang tidur ditempat duduk reguler (entah pura-pura tidur, saya juga tidak tahu pasti).

Entah karena merasa kesal atau sebab lain, pria itu enggan memberikan tempat duduk kepada seorang wanita setengah baya (sekitar umur 50an) yang sedang berdiri tepat di depannya. Kebetulan semua orang yang duduk di sebelah pria itu adalah kaum wanita. Sehingga tentu saja para penumpang memilih dan meminta pria itu untuk berdiri, dan memberikan tempat duduknya kepada wanita setengah baya yang sedang berdiri itu.

Sempat terjadi keributan sesaat antara para penumpang dengan pria itu. Dia enggan memberikan tempat duduknya, karena yang ditempatinya itu bukan kursi prioritas. Tidak lama kemudian satpam kereta datang, dan menyuruh pria itu berdiri. Akhirnya pria itu mau berdiri dan memberikan tempat duduk kepada wanita setengah baya itu. Di iringi gerutu dan tatapan masam laki-laki muda itu kepada para penumpang di sekelilingnya.

Itulah salah satu kejadian nyata yang pernah saya saksikan sendiri. Masih banyak lagi kejadian lain yang pernah saya saksikan dari rentang tahun 2010 hingga sekarang. Tentu dengan kronologis yang berbeda-beda, namun inti dan penyebab kejadiannya sama. Yaitu betapa 'mahalnya' nilai sebuah bangku kereta, dan tentang rasa empati/hati nurani yang mulai luntur dan mati.

Apakah hanya saya yang pernah jadi saksi mata 'konflik bedarah-darah' dalam memperebutkan bangku kereta ini? 

Saya yakin banyak sekali penumpang KRL lain yang juga pernah menyaksikan kejadian serupa seperti saya. Yang membedakan adalah, mereka tidak pernah menceritakannya. Mungkin mereka tidak tahu cara yang pas untuk mengungkapkannya (dalam bentuk kritik), atau tidak mau mengungkapkannya karena enggan berpolemik, atau mungkin juga karena ada sebab lain.

Tapi pernah ada beberapa orang yang menceritakannya, baik orang yang pernah menyaksikan kejadian tersebut (dalam bentuk kritik) maupun pengakuan dari si pelakunya sendiri (dalam bentuk gerutu).

Berikut beberapa di antaranya :

Pada pertengahan bulan Oktober tahun 2016 lalu, pengguna media sosial sempat ramai menanggapi sebuah unggahan tentang rendahnya rasa empati. Akun Line bernama Ahadi Pradana membuat postingan tentang kronologi kejadian di KRL Commuter line.

Pada saat itu ada dua orang wanita muda berumur sekitar 20 tahunan yang sedang duduk di kursi prioritas. Mereka tampak enggan berdiri, dan tidak mau menawarkan kursi prioritas kepada salah seorang kakek yang sedang berdiri tepat di samping wanita muda tersebut.

Kejadian bermula ketika Ahadi menegur wanita muda itu secara pelan-pelan. Ahadi menjelaskan bahwa sang kakek lebih berhak untuk duduk di kursi prioritas tersebut.

Setelah mendengar penjelasan Ahadi, apakah kedua wanita muda itu kemudian mau mengalah dan akhirnya berdiri?

Di sinilah terlihat betapa mahalnya nilai sebuah kursi prioritas. Bukannya berdiri, wanita muda tersebut malah menimpali permintaan Ahadi dengan ucapan sinis dan menohok akal sehat.

"Maaf ya mas, saya ini kan perempuan. Jadi saya termasuk orang yang lemah dan mesti lebih di prioritaskan."

Teman wanita itu kemudian ikut menimpali : "Apaan sih mas?, nyuruh kita-kita berdiri? Dasar cowok banci tukang protes. Ngiri ya mas? Karena gak kebagian tempat duduk?"

Mendengar ucapan sinis dan menohok kedua wanita muda itu, akhirnya sang kakek mengalah dan mengatakan tidak masalah jika dia harus berdiri.

Kejadian lain juga pernah terjadi pada tahun 2014. Jika pada kisah di atas yang menceritakan kejadian adalah saksi mata, maka kali ini yang menceritakan kejadian adalah si pelaku sendiri. Sebuah akun Path yang bernama Dinda membuat postingan, yang berisi keluhannya tentang seorang ibu hamil yang meminta tempat duduknya.

Berikut bunyi penuturan di akunnya :

"Benci banget gue sama ibu-ibu hamil yang tiba-tiba suka minta duduk. Ya gue tahu lu lagi hamil, tapi plis dong berangkatnya dari pagi. Naik ke stasiun yang jauh sekalian, biar elu dapet tempat duduk. Gue aja yang nggak hamil bela-belain mau berangkat dari pagi demi dapat tempat duduk. Emang dasar nggak mau susah. ckckck...akhirnya nyusahin orang. Kalau nggak mau susah ya nggak usah kerja bu, di rumah aja sekalian. Mentang-mentang lagi hamil maunya di ngertiin terus. Tapi dirinya sendiri nggak mau usaha.. cape deehh!!

#notetomyselfjgnnyusahinorg!!"

Tidak lama berselang, screenshot postingannya itu menyebar luas di berbagai media sosial dan menjadi viral. Akun pathnya menjadi bulan-bulanan netizen. Di bully habis-habisan gara-gara pernyataan tidak simpatiknya itu. Menyadari postingannya banyak yang memprotes, beberapa lama setelahnya, Dinda membuat postingan permintaan maaf. Tapi permintaan maafnya terkesan tidak ikhlas, karena masih dibumbui kalimat pembelaan.

Demikianlah, terlihat betapa mahalnya nilai sebuah bangku di KRL Commuter line. Apalagi di gerbong kereta khusus perempuan, di sana persaingan perebutan kursi jauh lebih sadis lagi. Bahkan sampai "berdarah-darah!" Hhhhh! 😅

Penumpang wanita yang ada di gerbong khusus perempuan biasanya lebih enggan berempati terhadap sesama kaumnya. Untuk menghindari supaya tempat duduk 'mahalnya' jangan di minta, maka modus yang banyak di lakukan antara lain pura-pura tidur sambil wajahnya ditutup masker, atau pura-pura sibuk dengan gadget di tangannya.

Tidak mengherankan jika akhirnya banyak di antara wanita hamil yang lebih memilih naik gerbong reguler. Mereka beranggapan bahwa para laki-laki yang duduk di bangku gerbong reguler akan lebih mau mengalah untuknya, daripada penumpang yang ada di gerbong khusus wanita.

Kerasnya persaingan perebutan kursi di gerbong khusus perempuan ini pernah di ungkapkan oleh Elvi di sebuah media. Elvi ini adalah seorang ibu muda yang berumur sekitar 25 tahun.

“Sebenarnya kalau jarak yang ditempuh hanya 3 stasiun, saya pun juga tidak akan meminta tempat duduk. Tapi kalau jarak tempuhnya jauh, saya jadi suka pusing dan mual ketika berdiri. Saya suka tidak kuat, takutnya nanti malah jadi kenapa-kenapa,” ungkap Elvi.

Elvi menuturkan bahwa dia sering mendapatkan perlakuan seperti di cuekin. Dia sering tidak mendapatkan haknya, dan mesti meminta terlebih dahulu agar bisa mendapatkan kursi prioritas. Bahkan dia pernah harus bersitegang dengan seorang wanita. Pangkal penyebabnya adalah karena petugas kereta meminta suami si wanita itu untuk berdiri, dan memberikan tempat duduk kepada Elvi.

Kejadian bermula ketika dia berangkat kerja pada pukul 10 pagi, naik dari stasiun Universitas Pancasila menuju Cikini. Kedua lokasi itu melewati 9 stasiun, tentu itu adalah jarak yang cukup jauh bagi Elvi untuk berdiri.

Awalnya Elvi mencoba bertahan untuk berdiri. Gerbong perempuan yang pagi itu sedang sesak, membuatnya mual, padahal baru melewati dua stasiun. Dia lalu mencoba mencari bangku prioritas. tapi semuanya telah dipenuhi oleh wanita-wanita muda. Bangku lain juga tidak ada yang kosong. Karena enggan membuat masalah secara pribadi (karena dari pengalaman sebelumnya), Elvi pun punya cara jitu untuk mengakalinya. Yaitu mencari dan meminta bantuan petugas KRL, supaya dicarikan bangku. Elvi mengatakan bahwa dia sedang hamil dan sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.

Sang petugas akhirnya membawa Elvi ke gerbong lain, yaitu gerbong reguler. Dia di carikan tempat duduk biasa, bukan bangku prioritas. Padahal, awalnya Elvi menghindari masuk gerbong reguler, karena suka mual mencium bau kurang sedap disana. Tapi karena sudah dalam keadaan terpaksa, akhirnya Elvi menurut saja.

Kebetulan di salah satu tempat duduk reguler ada seorang bapak-bapak paruh baya yang menurut petugas masih kuat untuk berdiri. Si bapak akhirnya bersedia berdiri, dan Evi pun kemudian mengucapkan terima kasih. Nah, si bapak bisa iklhas memberikan tempat duduknya, namun tidak dengan wanita yang ada disebelahnya. Ternyata Elvi harus bisa berlapang dada menerima sindiran dari wanita yang ada di sebelahnya itu. Wanita itu tidak lain adalah istrinya si bapak yang berdiri tadi.

“Istrinya fokus melihat ke arah perut saya, dan ingin memastikan bahwa saya benar-benar sedang hamil. Dengan nada sinis, wanita itu kemudian nyeletuk : 'Kenapa mesti suami saya yang harus berdiri sih? Kan di bangku sebelah sana masih ada anak muda”, tutur Elvi menirukan ucapan wanita itu.

Timbul sebuah pertanyaan, apa sebenarnya faktor penyebab, sehingga begitu sulitnya sebagian penumpang kereta untuk berbagi tempat duduk kepada penumpang lain yang lebih membutuhkan? 

Bagaimana menurut pandangan anda (para pembaca)?

Kalau menurut pandangan saya (penulis), ada 2 faktor penyebab utamanya.

Yaitu :

#1. Karena faktor masih minimnya fasilitas dari kereta Commuter line sendiri untuk penumpang/penyandang kursi prioritas.

#2. Karena sifat individualistik yang mulai menjangkiti sebagian warga masyarakat di kota-kota besar.

Sekarang mari kita telaah terlebih dahulu faktor penyebab yang pertama.

#1. Karena masih minimnya fasilitas dari KRL Commuter line sendiri untuk penumpang/penyandang kursi prioritas. 

Dengan murahnya tiket KRL (hanya 2.000 rupiah per 25 kilometer pertama, dan 1.000 rupiah untuk 10 kilometer tambahan berikut), membuat transportasi ini menjadi primadona dan di gemari masyarakat.

Namun, ibarat peribahasa “ada harga ada rupa". KRL Commuter line ini masih belum dapat melayani kebutuhan penggunanya dengan maksimal. Memang sudah ada beberapa langkah pembenahan untuk kenyamanan pengguna. Seperti gerbong kereta yang telah dilengkapi dengan AC, kipas angin, dan berbagai perbaikan lainnya.

Sekarang lingkungan stasiun juga sudah lebih bersih dan rapi jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Dahulu pedagang kaki lima berjejer di setiap stasiun, bahkan pedagang asongan pun ikut berjubel berjualan sampai ke dalam gerbong kereta (ekonomi).

Kini semua itu sudah tidak ada lagi. Lingkungan KRL kini sudah jauh lebih tertib, bersih dan tertata rapi. Dan hal ini tentu patut kita apresiasi.

Namun ada satu masalah utama yang sampai kini belum dapat terpenuhi. Yaitu jumlah gerbong kereta yang tidak berbanding lurus dengan jumlah penumpang. Hal ini tentu berimbas pada jumlah kursi prioritas yang menjadi lebih sedikit, jika dibandingkan jumlah penumpang prioritas di KRL Commuter line (yang setiap waktu terus meningkat).

Insiden saling dorong saat naik dan turun kereta menjadi pemandangan sehari-hari. Jumlah pengguna KRL Commuter line yang terus meningkat, membuat semua penumpang saling berebut untuk mendapatkan kursi. Tidak perduli tua, muda, kakek, nenek, orang hamil, masih lajang, laki-laki ataupun perempuan. Semuanya saling berebut untuk mendapatkan kursi.

Apalagi pada saat berangkat kerja di pagi hari, atau sepulangnya di sore hari. Wuiih! 

Kalau sudah begitu keadaannya, maka nyaris sudah tidak ada lagi istilah pilih kasih di sini. Hukum yang berlaku adalah : Siapa yang paling cepat berebut, maka dialah yang akan mendapatkan kursi.

Kalau keadaannya sudah begini, siapakah yang akan menjadi korban?

Ya siapa lagi kalau bukan para penumpang prioritas, terutama ibu-ibu hamil! 

Para ibu hamil ini sering harus rela berjalan dari satu gerbong ke gerbong lain demi untuk mencari tempat duduk yang masih kosong. Dan parahnya, karena terbatasnya jumlah kursi prioritas, akhirnya ibu-ibu hamil itu memaksakan diri untuk berdiri (karena malas ribut dengan penumpang lain). Tidak jarang akhirnya ada di antara mereka yang pingsan, karena memaksakan diri berdiri, gara-gara tidak mendapat tempat duduk di dalam KRL.

Jadi, menurut hemat saya, sebaiknya hal ini menjadi perhatian khusus bagi pihak terkait. Agar menambahkan gerbong keretanya, supaya dapat menampung jumlah pengguna kereta api listrik yang semakin hari terus meningkat.

#2. Karena sifat individualistik yang mulai menjangkiti sebagian warga masyarakat di kota-kota besar. 

Faktor penyebab yang kedua adalah karena sifat individualistik mulai menjangkiti sebagian masyarakat perkotaan. Individualisme inilah salah satu faktor yang membuat semakin luntur rasa kebersamaan dan kepekaan mereka.

Mungkin timbul sebuah pertanyaan di fikiran anda : "Mengapa sifat individualisme ini cenderung menjangkiti masyarakat di perkotaan?"

Jawabannya bisa anda lihat dari fenomena yang ada. Coba anda perhatikan, semakin tinggi taraf hidup dan semakin maju kesejahteraan sosial ekonomi mereka, maka semakin tinggi pula tembok dan pagar rumahnya.

Sehingga saking tingginya pagar rumah mereka, sehingga tidak jarang di antara mereka tidak kenal dengan tetangganya sendiri.

Mereka hanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Berangkat kerja pagi, pulang malam. Hampir tidak pernah bersosialisasi dengan warga sekitarnya. Lama kelamaan keadaan ini membuat rasa kebersamaan mereka jadi luntur, gersang, dan akhirnya mati. Dan pada akhirnya sifat individualisme ini membentuk karakter mereka, dan terbawa ke mana pun mereka pergi.

Prinsip mereka "Elu elu, Gue gue. Lu mau ngapain aja ya terserah elu, asal gak ganggu gue. Dan gue mau ngapain aja juga terserah gue, bukan urusan elu".

Makanya ketika ada aturan sosial yang masih berlaku di dalam gerbong kereta, hal itu mengusik rasa individualisme mereka.

Apalagi kalau yang di minta adalah bangku reguler yang tidak termasuk kursi prioritas (terpaksa di lakukan petugas karena terbatasnya bangku prioritas), maka sisi individualisme mereka sontak merasa terusik.

Sebab mereka menganggap bangku reguler itu adalah hak mereka. Mereka sering berkilah dan menggerutu : "kalau memang buat orang hamil, harusnya cari bangku prioritas dong!". 

Padahal apa sih ruginya memberikan tempat duduk kepada orang lain yang patut mendapatkannya? Toh, bangkunya juga tidak di minta setiap hari kok. Kenapa pula mereka tidak mencoba merubah cara berfikir, bahwa setiap kebaikan pasti ada balasannya.

Apa balasannya?

Yakni di dunia akan di sukai manusia, dan di akhirat akan mendapatkan pahala. Jadi memberikan bangku kepada orang lain gak akan pernah ada ruginya kok,,,,,,

Namun demikianlah, kita cukup prihatin karena begitu ganasnya individualisme mulai menggerogoti dan membunuh nurani sebagian masyarakat di perkotaan besar.

Padahal kalau mereka mau berbagi, sebenarnya itu akan mendatangkan kebahagiaan jiwa (jika mereka mau merenunginya). Dengan berbagi, maka jiwa mereka tidak akan gersang dan kesepian. Karena sesungguhnya berbagi dengan ikhlas itu dapat melembutkan hati, menentramkan jiwa dan mempererat tali persaudaraan.

Kita yakin masih banyak orang perkotaan yang masih punya hati nurani dan mau berbagi kepada sesamanya. Dan bagi sebagian lagi (yang masih terjebak dengan paham individualisme), semoga segera timbul kesadarannya.

Demikianlah artikel tentang lunturnya empati dan masih minimnya fasilitas untuk penumpang prioritas di KRL Commuter line. Artikel ini sengaja saya tulis dengan runtut dan lengkap, agar supaya bisa menjadi sarana kritik dan saran. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.

Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan petunjuk kepada kita semua, Aammiin.

Mudah-mudahan artikel ini dapat bermanfaat. Silahkan jika anda ingin membagikan (share) artikel ini. Semoga isinya juga dapat bermanfaat dan bisa menjadi inspirasi bagi orang yang lainnya.

Sampai berjumpa lagi di artikel selanjutnya.

Salam.
Yunita
Yunita Saya seorang ibu rumah tangga yang gemar menulis.

Post a Comment for "Lunturnya Empati Dan Masih Minimnya Fasilitas Untuk Penumpang Prioritas di KRL Commuter Line"