Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Perjalanan Usahaku Bagian 3 (Hijrah Total ke Jakarta)

Di artikel sebelumnya telah saya ceritakan tentang sebuah kota kecil. Yakni tempat saya pertama kali pergi merantau. Kota kecil tersebut adalah daerah Pandeglang, Banten, Jawa Barat. Bagi Anda yang belum membaca cerita sebelumnya, silakan klik di sini: Catatan Perjalanan Usahaku Bagian 2 (Jualan kaset DVD di Pandeglang, Banten)

Di masa awal merantau ini, saya mesti menghadapi beberapa problem yang cukup sulit. Banyak sekali kendala yang harus saya hadapi ketika itu. Salah satu hambatan utama yang paling saya rasakan adalah kekurangan modal bisnis. 

Selain itu, saya juga belum memiliki soft skill dilapangan. Salah satunya adalah kemampuan berkomunikasi (berbicara) yang belum saya miliki ketika itu. Ini berarti ; saya belum pandai melobi orang lain. Maklum, ketika itu 'kan saya baru pertama kali pergi merantau, sehingga masih banyak keterampilan yang belum saya miliki.

Memang, salah satu karakteristik paling mencolok dari orang-orang yang baru merantau adalah belum mahir untuk berkomunikasi dengan orang lain. Biasanya orang yang baru merantau di hinggap rasa kaku, canggung atau malu untuk berinteraksi dengan orang lain (dilingkungan barunya tersebut).

Nah, apa pentingnya skill berkomunikasi dan kekuatan modal bisnis pada seorang perantau?


Bagi seorang perantau, keterampilan berkomunikasi sangatlah penting. Karena keterampilan berkomunikasi ini akan diperlukan untuk melobi orang-orang yang memiliki wewenang dilokasi tempat mereka berdagang. Contohnya: seperti pengurus pasar, aparatur pemerintah daerah, dll. Sementara kekuatan modal bisnis juga memiliki fungsi vital. Karena jika seseorang memiliki banyak uang, maka segala urusannya menjadi lebih mudah. 

Anda paham 'kan apa maksud penjelasan saya di atas? 😁


Saya yakin Anda pasti ngertilah,,,,, 'welcome to Indonesia' he-he-he ☺

Artinya, di negara kita praktik yang kurang fair antara pejabat publik dengan orang-orang yang memiliki kepentingan individu sudah menjadi hal yang biasa. Seperti yang telah saya ceritakan di artikel seri bagian 2 yang lalu, bahwa masih banyak terjadi praktik kolusi (baca: penyuapan) di pasar Pandeglang tersebut. Yakni semacam 'kerja sama' antara pihak yang memiliki wewenang (pengurus pasar) dengan orang-orang yang kebetulan memiliki banyak uang dan juga pandai melobi.

Dan 'malangnya' nasib saya. Karena keterampilan melobi, dan kekuatan finansial itulah yang tidak saya miliki ketika itu. 😬

Nah itulah faktor utama yang menjadi pemicu keputusan saya, untuk segera meninggalkan pasar Pandeglang itu.

Jika Anda telah membaca seri artikel sebelumnya (bagian 2), apakah Anda masih ingat pada sepenggal kalimat dibagian akhir artikel?

Kalimat itu tertulis: "Dan akhirnya, ada sebuah insiden yang akhirnya menjadi pemicu saya untuk memutuskan pergi (hijrah) merantau ke Jakarta."

"Apa pemicunya?"

 Artikel Menarik Lainnya: 5 Hal dan Faktor Penghambat Sukses

Sekarang akan saya beritahukan kepada Anda.

Pemicunya adalah : Karena kios saya terkena pembongkaran, dan adanya praktik yang tidak adil (suap) di pasar Pandeglang itu.


Mari kita kilas balik dulu sebentar, supaya ceritanya dapat lebih nyambung. ☺

Dalam cerita di seri sebelumnya telah saya katakan, bahwa di pasar Pandeglang itu sering ada penertiban pedagang kaki lima. Perintah penertiban itu turun dari pemerintah daerah. Biasanya razia dilakukan setiap jangka waktu 4 - 6 bulan sekali.

Ketika razia dilakukan, semua PKL (yang berada di sisi jalan raya) harus dipindahkan ke lokasi tertentu. (Di pindahkan ke belakang pasar, sehingga lokasinya menjadi kurang strategis untuk berdagang).

Biasanya disetiap razia PKL, kios saya selalu aman (tidak terkena penertiban). Penyebabnya karena posisi kios saya berada di dalam gang, bukan di sisi jalan raya. Dan area gang tidak termasuk lokasi yang harus di tertibkan.

Tetapi pada suatu ketika ada perintah perombakan besar-besaran dari pasar Pandeglang itu. Kali ini perintah penertiban diturunkan oleh walikota. Ini berarti perintah penertiban kali ini lebih luas dan menyeluruh. Sehingga semua PKL yang berada di tepi jalan raya, maupun yang berada didalam gang pasar semuanya harus di tertibkan. 

Lokasi penampungan untuk semua pedagang kaki lima itu masih sama dengan tempat relokasi sebelumnya, yakni dibelakang pasar Pandeglang tersebut.

Nah disinilah saya mulai menyadari, bahwa banyak sekali intrik yang terjadi di pasar Pandeglang itu.

Seperti apa intriknya?


Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa hanya orang-orang yang memiliki kekuatan finansial (modal), dan yang pandai melobi saja yang akan bisa mendapatkan lapak strategis di tempat penampungan PKL itu. 

Bagaimana praktik itu terjadi? Lihat penjelasan berikut:

Penampungan pedagang kaki lima itu dibuat berupa lapak yang berbentuk meja, berukuran 2 x 1 meter. Semua meja itu tertata rapi dan disusun memanjang. Di setiap 5 meja yang berjajar, ada ruang selebar 2 meter yang berfungsi sebagai jalanan untuk orang lewat.

Nah, tentu saja lokasi lapak yang paling strategis adalah meja yang berada di dekat pintu masuk (dari arah pasar). Sementara lokasi meja yang berada dibagian paling belakang (dekat jalan buntu) otomatis menjadi 'lapak mati.'

Di sinilah konspirasi itu terjadi.

Hanya PKL yang berduit, dan memiliki kenalan dekat dengan pengurus pasar saja yang bisa mendapatkan lokasi lapak strategis (ditempat penampungan PKL tersebut).


Bagaimana nasib mereka yang tidak punya banyak uang, dan juga tidak kenal (lobi) dengan 'orang dalam'? 

Ya bagaimana lagi? Terpaksa harus menerima nasib malang karena hanya bisa mendapatkan 'lapak mati'. Dan kebetulan, saya adalah salah satu dari orang yang malang itu wkwkwkwkwk 😅

Mungkin Anda akan bertanya kepada saya: "Bagaimana menurut Anda tentang cara distribusi lapak yang adil itu bang izal?"

Hmmm ,,,,, menurut saya cara yang paling adil adalah dengan metode undian. Dan proses undiannya harus diatur dan di awasi langsung oleh pemerintah daerah

Maksud saya begini ; 

Jadi setiap lapak/meja itu diberi nomor urut. Kemudian nama masing-masing PKL ditulis pada selembar kertas (yang telah digulung dalam ukuran kecil). Kemudian semua gulungan kertas itu dimasukkan ke dalam botol besar (pada bagian tutup botol diberi lubang kecil). Setelah itu, botol dikocok-kocok sehingga gulungan kertas bisa keluar dari lubang. 

Jadi, nama yang keluar pada pengocokan pertama, maka itu berarti dia mendapatkan lapak/meja nomor 1. Gulungan kertas yang keluar pada kocokan kedua, maka berarti dia mendapatkan meja nomor 2. Begitu seterusnya. 

Proses undian di atas harus disaksikan oleh semua pedagang kaki lima tersebut, sehingga prosesnya dapat berjalan dengan jujur ​​dan adil. 

Itulah cara dan metode yang paling adil.

Apa alasannya?

Karena relokasi PKL itu didasarkan pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Jadi pemerintah daerah harus menentukan cara yang tepat untuk mendistribusikan lapak dengan adil. Dan pemda harus berusaha untuk menutupi semua celah bagi pejabat terkait di pasar tersebut. Agar mereka tidak menyalahgunakan wewenang mereka (yaitu melakukan kongkalikong dengan pedagang bermodal kuat). 

Itulah yang seharusnya menjadi cara yang lebih adil dan ideal. Namun sayangnya, kekuatan uang lebih kuat di pasar itu daripada keadilan dan kejujuran. 

Dan pada saat itulah saya mulai menyadari bahwa dunia diperantauan itu ternyata sangat keras dan penuh dengan intrik.


Akhirnya, saya terpaksa harus menerima 'lapak mati itu'. Abis mau bagaimana lagi? Karena untuk ikut melakukan kongkalikong jelas saya tidak punya banyak uang. Dan saya juga tidak punya 'orang dalam' yang dapat untuk saya lobi.

Saya sempat bertahan selama tiga bulan berdagang di 'lapak mati itu'.

Tetapi setelah memasuki bulan keempat, saya mulai berpikir untuk pindah rantau ke kota lain. Saya merasa sudah tidak ada gunanya lagi untuk terus bertahan di pasar Pandeglang itu. Karena sejak terjadi penertiban PKL besar-besaran itu, omset saya menurun sangat drastis.

Dalam sehari, hanya 5 keping DVD yang terjual. Bahkan seringkali tidak laku sama sekali!

Artikel Menarik Lainnya : Dilema Startup : Di Anggap Pengangguran, Di Cemooh dan Tak Dianggap

Akhirnya, saya mulai memikirkan ide untuk melakukan sebuah survei ke Jakarta. Ya! Saya sudah punya rencana untuk pindah rantau ke Jakarta!


Mengapa pada waktu itu saya memilih Jakarta sebagai tujuan untuk pindah? Salah satu alasannya adalah karena Jakarta adalah ibu kota Indonesia. Tentu saja perdagangan dan semua kegiatan ekonomi terpusat di sana. Dan saya merasa sudah tiba waktunya bagi saya untuk 'naik level'. Yaitu mencoba pergi merantau sendirian (tidak menumpang lagi dengan paman saya di kota Pandeglang tersebut).

Catatan Perjalanan Usahaku Bagian 3 (Hijrah Total ke Jakarta)

Selain itu, saya juga sudah beberapa kali melakukan survei terhadap pedagang DVD yang ada di kota Jakarta. Ternyata prospek berdagang DVD di Jakarta jauh lebih menjanjikan daripada berdagang di kota Pandeglang. Saya telah melihat secara langsung, bahwa rata-rata pedagang DVD di Jakarta sangat ramai dengan pembeli. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena seperti yang telah saya katakan di atas, bahwa Jakarta adalah pusat ibukota Indonesia, sehingga sangat wajar jika daya belinya tinggi.

Masalah baru yang timbul ketika di awal pindah ke Jakarta.


Singkat cerita, akhirnya saya pindah ke Jakarta.

Semua kepingan DVD, player, TV, amplifier, dan berbagai peralatan dagang lainnya saya boyong ke Jakarta.

Setelah saya tiba di Jakarta, apakah semuanya lantas berjalan lancar? BELUM!! Perjuangan masih panjang kawan! 💪😁.

Saya mengalami berbagai masalah baru ketika setibanya di Jakarta. 

Masalah-masalah itu meliputi:


Saya masih bingung tentang apa yang harus dilakukan, langkah apa yang harus saya ambil, dan dari mana saya harus memulai!

Masalah ini merupakan problem klasik yang umum terjadi pada semua perantau baru.

Masalah terbesar yang saya alami (ketika baru tiba di Jakarta) adalah sulitnya untuk mendapatkan lapak/kios. Kenyataan yang harus saya hadapi adalah; tidak mudah untuk mendapatkan kios berjualan di Jakarta.

Rata-rata kios di pasar Jakarta sudah dipenuhi oleh pedagang. Bahkan jika saya ingin 'bermain' dengan pengurus pasar (untuk mendapatkan kios), maka saya harus menyediakan uang yang cukup banyak. Padahal saat itu saya tidak punya uang hehehe 😁

Tetapi saya berusaha untuk tidak putus asa, dan terus berusaha untuk menemukan sebuah lapak yang masih kosong. Saya melakukan perjalanan dari satu pasar ke pasar lainnya. Tapi ternyata tidak ada lapak yang bisa didapatkan dengan mudah dan murah. Ini berarti ; jika Anda ingin mendapatkan kios strategis di pasar Jakarta, maka Anda harus kuat modal dan harus pintar berurusan dengan 'orang dalam'.

Intinya adalah, saya akan bisa mendapatkan kios jika saya punya uang yang cukup banyak!

Artikel Menarik Lainnya: Bagaimana Cara Usaha Kecil Bersaing Dengan Usaha yang Lebih Besar?

Mendapatkan solusi.


Setelah tiga bulan berkeliling mencari lapak, pada suatu hari saya merasa sangat lelah. Kemudian saya beristirahat di sebuah halte di pinggir jalan (sambil termenung).

Ketika saya memikirkan langkah apa lagi yang harus saya ambil, tiba-tiba saya dipanggil oleh seseorang. Ternyata orang yang memanggil saya itu adalah si Iwan. Dia adalah salah satu teman di rumah kos-kosan saya.

Pada saat itu si Iwan ini sedang dalam perjalanan menuju ke pasar malam (untuk berdagang). Nah ketika sedang berjalan, kebetulan dia melihat dan langsung menegur saya.

"Hey Zal, ngapain bengong di sini?" tanyanya.

"Eh, elu rupanya Wan. Iya gue lagi bingung nih,,,, ke mana lagi gue mesti cari lapak buat jualan ya? Gue udah nyari kemana-mana dan kelilingin semua pasar di Jakarta selama tiga bulan ini, tapi belum juga ada kios yang kosong."

Si Iwan lantas menjawab: "Ngapain pake bingung Zal?! Lu bisa ikut dagang sama gue di pasar malam. Masalah lapak biar nanti gue yang atur. Gue kenal deket sama ketua pasar malam ditempat gue, semua bisa di atur! "

Mendengar kata-kata si Iwan itu, saya ibarat seorang musafir yang sedang kehausan di gurun pasir, tiba-tiba menemukan sebuah oasis!

Seketika perasaan saya langsung lega, dipenuhi oleh harapan dan semangat baru!

Sejak itu, petualangan baru saya pun segera dimulai, yaitu berdagang di pasar malam.

Bagaimanakah ceritanya? Simak di artikel lanjutannya di sini : Catatan Perjalanan Usahaku Bagian 4 (Berpetualang di Pasar Malam)


Kisah ini ditulis dan diceritakan oleh Bang izal.
Bang izal
Bang izal Saya Seorang Praktisi Bisnis Mainan. Sangat hobi menulis dan suka berdiskusi. Saya ingin sekali saling berbagi ilmu, dan pengalaman, dengan teman-teman semua melalui blog ini.

1 comment for "Catatan Perjalanan Usahaku Bagian 3 (Hijrah Total ke Jakarta)"

  1. Di Jawa daerah yg paling jauh yg saya ikuti saat itu baru nyampae Cirebon om, itu sekali2 Klo ada acara hari besar seperti lebaran aja.
    Klo acara pasar malam rutin biasanya di sekitaran Jabodetabek.

    ReplyDelete